HOME

Rabu, 23 Maret 2016

PERSPEKTIF PESIMIS & OPTIMIS PENGGUNA INTERNET




Perkembangan pesat teknologi yang terjadi sekarang ini, menjadikan penggunaan internet sebagai trend sekaligus kebutuhan dikalangan masyarakat. Akses tak terbatas yang disediakan memungkinkan individu untuk mencari/memperoleh/membagikan informasi dan mencantumkannya pada internet tanpa memandang status social, pendidikan, ras, jenis kelamin, keyakinan ataupun faktor-faktor individual lainnya. Penggunaan internet yang semakin luas ini kemudian menimbulkan efek bagi masyarakat yang dibagi kedalam dua perspektif yaitu optimis dan pesimis baik dari segi akses penggunaan internet, partisipasi politik, dan juga interaksi.

Perspektif Pesimis

Perspektif pesimis mengenai akses internet membahas adanya kekhawatiran tentang penggunaan dan pemanfaatan internet yang tidak merata. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa masyarakat minoritas seperti orang Afrika-Amerika dan Hispanik non-putih yang tinggal di Amerika meemiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk dapat memiliki unit komputer dan akses tak terbatas terhadap jaringan internet jika dibandingkan dengan masyarakat kulit putih dan Asia. Karenaya, masyarakat Afrika-Amerika dan Hispanik non-putih kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan internet (neu et.al, 1999). Penelitian kemudian menunjukkan bahwa kaum minoritas juga cenderung menggunakan lebih sedikit waktu mereka untuk online.

Howard et,al (2002) menyimpulkan bahwa laki-laki, orang-orang berkulit putih, orang berpendapatan tinggi, orang dengan pendidikan tinggi dan orang yang memiliki pengalaman, biasanya lebih sering menggunakan internet. Sedangkan orang-orang berpendidikan rendah, wanita, orang tua, dan orang dengan pendapatan rendah, cenderung tidak terlalu sering menggunakan internet. Aspek-aspek inilah yang kemudian membuat akses internet tidak dapat tersebar secara merata di seluruh lapisan masyarakat.

Kemkominfo di Indonesia mencatat bahwa terdapat sekitar 313 juta pengguna ponsel pada 2013 dan 47 juta diantaranya adalah pengguna smartphone. Dengan penetrasi pengguna ponsel diprediksi sebesar 18% pertahun. Sementara pengguna internet pada 2014 tercatat sebanyak 88.1 juta orang, Dengan penetrasi pertumbuhan sebesar 34.9% setiap tahunnya. Hasil ini menempatkan Indonesia menjadi negara dengan perkembangan TIK yang cukup signifikan di kawasan Asia Tenggara. Namun, penertasi pertumbuhan pengguna TIK belum mampu membuat Indonesia siap bersaing secara global. 

Lewat survey APJII dan PusKaKom UI pada 2014, ditemukan fakta bahwa 78,5% dari total pengguna internet di Indonesia tinggal di wilayah Indonesia bagian Barat (Jawa-Bali) yang merupakan wilayah urban-perkotaan. Sedangkan penggunaan internet oleh masyarakat desa dan pinggiran tercatat hanya sekitar 21,5%. Daerah desa dan pinggiran ini yaitu di dominasi oleh wilayah Timur Indonesia yang meliputi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB. Terdiri dari 6 provinsi, 86 kabupaten, 9 kota, 1.380 kecamatan, 804 kelurahan dan 12.945 desa dan dengan populasi 18.4 Juta jiwa pada 2014. Ternyata di wilayah tersebut diketahui hanya 5,9 Juta orang yang dapat mengakses internet. Padahal luas wilayah ke 6 provinsi ini jika digabungkan mencapai 45% dari total luas wilayah di Indonesia dan dengan jumlah penduduk yang hanya berbeda sedikit dengan pengguna internet di DKI Jakarta yang berjumlah 5,6 juta orang. Sekurangnya terdapat dua faktor fundamental yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan ini. Pertama yaitu pembangunan dalam segala bidang termasuk TIK yang belum merata dan masih terkonsentrasi di daerah urban. Faktor kedua adalah biaya layanan internet yang ditawarkan oleh provider masih tergolong mahal, hingga sulit dijangkau oleh masyarakat pedesaan dan daerah pinggiran yang rata-rata berpendapatan menengah kebawah. Rupanya pertimbangan bisnis terlalu dominan sehingga pemerataan dan tarif disesuikan dengan kalkulasi akumulasi semata.  

Perspektif Optimis

Perspektif optimis menjelaskan bagaimana internet telah memberikan kemudahan akan akses informasi bagi semua kalangan masyarakat. Penelitian baru (ECRL, 1999: Howard et.al, 2002: Katz dan Rice, 2002a) menemukan bahwa perbedaan ras dan gender dalam akses internet merupakan variable lain yang dapat diperhitungkan secara statistic. Yang lebih ditekankan pada perspektif ini adalah upaya-upaya untuk mengatasi beberapa keterbatasan pada akses yang disebabkan karena disabilities.

Di Indonesia sendiri, telah menyebar beberapa software yang ditujukan untuk dapat membantu orang-orang penderita disabilities. Salah satunya yaitu NDVA yang diperuntukkan untuk membantu penderita disabilities khususnya tunanetra. Tidak seperti screen reader lain yang biasanya mengharuskan pengguna untuk membeli lisensi, NVDA dapat didownload secara gratis tanpa harus melakukan pembelian lisensi. Kelebihan lain yang dimiliki oleh NVDA adalah kemampuannya membaca tulisan yang berbahasa Indonesia sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan screen reader lain yang tentunya sangat membantu penderita tunanetra di Indonesia. Selain itu NVDA juga memiliki versi portable dengan kata lain dengan memasukkan screen reader ini ke dalam flashdisk kemudian dipasang ke komputer lain maka komputer tersebut juga dapat menginstal program ini tanpa perlu melakukan extract ulang.

Kesimpulan

Internet sesungguhnya merupakan hasil cipta manusia yang dapat menimbulkan dampak bagi kehidupan sosial baik secara positif maupun negatif. Beberapa orang memandang internet lebih banyak memberikan dampak negatif atau merugikan pengguna dibandingkan memberikan keuntungan. Salah satunya yaitu semakin maraknya tindakan kriminal dalam dunia online, berupa penipuan dengan menggunakan website ataupun berbagai media sosial. Selain itu, internet memudahkan setiap individu untuk dapat mencari informasi apapun yang mereka butuhkan contohnya identitas seseorang. Hal ini membuat masyarakat merasa identitas mereka terekspos secara luas kepada dunia sehingga memungkinkan informasi tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Namun di lain sisi, masyarakat menganggap internet juga memberikan banyak keuntungan bagi penggunanya. Salah satunya yaitu meningkatkan mutu pendidikan dengan penyediaan beragam informasi dari seluruh penjuru dunia dan selalu up to date. Internet juga dapat mengaburkan jarak yang memisahkan antar individu sehingga mereka dapat melakukan interaksi kapanpun dan dimanapun yang kemudian akan mempermudah penyebaran budaya yang mendukung homogenitas.

Intinya, bagaimana masyarakat memandang fungsi internet bagi kehidupan mereka bergantung dari cara masing-masing anggota masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatnya di kehidupan sehari-hari. Jika internet dipergunakan dan dimanfaatkan untuk tujuan baik maka internet akan memberikan dampak yang baik pula. Namun bila internet digunakan dan dimanfaatkan untuk tujuan buruk maka internet akan memberikan dampak yang buruk pula bagi si pengguna.



Daftar Pustaka:


Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. 

Sulaeman, Ahmad Syarif Muhammad Mansyur. 2012. SOFTWARE UNTUK TUNANETRA AGAR DAPAT MENGOPERASIKAN KOMPUTER/LAPTOP. http://www.syarifshare.info/2012/06/tips-untuk-tunanetra-agar-bisa.html



Jumat, 18 Maret 2016

Virtual Community

Perkembangan teknologi media yang terjadi tentunya memberikan pengaruh pada kehidupan sosial masyarakat baik dalam aspek positif maupun negatif. Beberapa aspek positif dari perkembangan teknologi media antara lain kehadiran teknologi media baru tentunya mampu menghapus ketidaksetaraan dan kesenjangan dalam masyarakat, meningkatkan mutu pendidikan, serta mampu menjadikan warga lebih aktif dalam menunjukkan partisipasinya baik dalam ekonomi, politik maupun bidang lainnya. Sedangkan aspek negatif dari munculnya teknologi media baru antara lain teknologi baru terlebih televisi dan film, ditakutkan akan dijadikan sebagai alat potensial untuk melakukan propaganda politik dan penanaman ideologi tertentu. Selain itu masyarakat juga bependapat bahwa kehadiran teknologi media akan mampu merusak tatanan masyarakat, meracuni pikiran masyarakat khususnya golongan muda dengan hal-hal negatif contohnya dalam kasus LGBT dan bullying, serta merendahkan warisan budaya.

Memasuki era internet, bentuk komunitas juga ikut berkembang dan memunculkan komunitas yang baru. Komunitas baru tersebut dikenal dengan nama komunitas virtual. Istilah komunitas virtual pertama kali diperkenalkan oleh Howard Rheingold dalam bukunya yang berjudul “The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier” (2000). Komunitas virtual adalah sekumpulan orang yang berkumpul untuk tujuan yang sama, dengan memanfaatkan internet atau dapat disebut dengan dunia maya. Dalam bukunya, Rheingold menjelaskan bahwa orang-orang yang berada dalam komunitas virtual hanya menggunakan kata-kata pada layar, mereka saling bertukar pendapat dan informasi, melakukan pertemuan, bertukar dukungan emosional, bertukar pengetahuan, serta hal-hal lain yang biasanya dilakukan dalam kehidupan nyata. Perbedaannya adalah mereka tidak bisa melakukan kontak fisik dengan satu sama lain,seperti menyentuh ketika tengah berbicara.

Salah satu pengalaman terkait komunitas virtual yaitu dialami oleh salah satu teman saya. Ia menggunakan aplikasi twitter untuk menjalin hubungan dengan komunitas virtualnya. Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu aplikasi media sosial ini memang tengah digandrungi oleh masyarakat Indonesia khususnya kalangan remaja. Twitter (/ˈtwɪtər/) adalah layanan jejaring sosial dan mikroblog daring yang memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan berbasis teks hingga 140 karakter, yang dikenal dengan sebutan kicauan (tweet). Pengguna yang telah terdaftar bisa menulis tweet melalalui situs web, pesan singkat (SMS), atau melalui aplikasi twitter yang telah disediakan untuk telfon seluler. 

Teman saya ini, sebut saja Indri memiliki sebuah account twitter dimana ia menggunakan identitas orang lain (artis/penyanyi/tokoh anime) sebagai identitasnya. Penggunaan identitas orang lain ini dikenal dengan istilah roleplayer. Tentunya agar tidak menimbulkan masalah nantinya, pemilik account roleplayer biasanya akan menuliskan keterangan bahwa account yang ia gunakan ini adalah fake account atau account parod pada bio mereka. Indri menggunakan identitas salah satu idol asal negara Korea Selatan sebagai identitas account miliknya dan mulai berinteraksi dengan account roleplayer lainnya. Interaksi ini bisa terjadi karena baik Indri dan teman-temannya memiliki ketertarikan dan hobi yang sama yaitu pada musik asal Korea Seltan atau lebih dikenal dengan K-pop­. Kenyamanan yang terbangun dalam interaksi itu kemudian membuat Indri dan teman-temannya semakin sering berinteraksi dan bertukar pendapat mengenai hobi mereka. Dalam komunitasnya, Indri dan teman-temannya tidak menggunakan identitas asli mereka, mereka berinteraksi dan bersikap sebagaimana idol yang mereka perankan. Mereka hanya akan mulai membuka identitas mereka pada orang-orang yang benar-benar sudah dianggap dekat, biasanya dengan bertukar nama maupun nomor telfon dan kemudian melanjutkan interaksi lebih dalam dengan identitas asli mereka. Hal ini tentunya kemudian dapat menimbulkan keraguan, apakah segala yang pernah Indri dan teman-temannya bicarakan misalnya hobi, kebiasaan, dan lain-lain adalah benar atau hanya dibuat-buat saja.

Keberadaan internet memang memudahkan kita untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa harus merasa terhalanng oleh jarak yang memisahkan. Namun, ada baiknya bila dalam melakukan interaksi dengan orang-orang yang tidak dikenal secara langsung kita harus terus berhati-hati dan tidak mudah mempercayai orang lain tersebut. Ada baiknya bila kita tidak membuka langsung segala hal tentang diri kita pada orang yang bahkan tidak kita kenal secara langsung, terlebih dalam kasus Indri dimana ia bahkan tidak mengetahui nama asli maupun wajah teman-temannya. Karena mungkin saja salah satu dari orang-orang tersebut dikemudian hari akan melakukan hal-hal yang tidak baik dengan memanfaatkan data-data yang kita berikan baik secara sadar maupun tidak.


Sumber :

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.